Pengkhianatan Menunggu



Detik itu aku melihat wajah penyesalan.  Sayup-sayup heningnya keramaian toga dan duri buket bunga sepertinya menyakitakan. Sore itu bersama langit yang berwarna biru dan cerah ada kekesalan dalam balutan yang berjanji berusaha saling memantaskan, mungkin jika bisa berteriak dan berkata kecewa itu akan terlontar dari mulutnya. Tapi kenyataanya,tetap bersikap tegar seperti karang yang sebenarnya jika terkikis air lautpun akan rapuh.

Di sebuah dusun, di pedesaan Yogyakarta. Aku, Gus, dan Ratna bersahabat sejak dari kecil. Posisi kekerabatan aku dan Gus memang menjadi kedekatan tersendiri. Aku memanggil Gus dengan Mas dan Gus memanggilku dengan Lee. Aku dan Gus sepupuan dari pihak ayah, tapi aku dan Ratna pun masih ada kerabat meski sangat jauh. Ratna cucu dari adiknya nenek pihak ibu. Semenjak dari SD sampai SMP aku dan Gus selalu satu sekolah, Hanya Ratna diantara kami berdua yang tidak pernah satu sekolah. Beranjak sekolah menengah aku mulai mengambil jalur kejuruan, dan Gus tetap pada sekolah menengah atas. Ratna memang secara ekonomi berbeda derajat dengan kami berdua. Dia yang terlahir dari keluarga kaya raya dengan mudah masuk jenjang pendidikan di kota. Semenjak SMP, Ratna mulai sekolah di kota. Meskipun kami berbeda sekolah sejak SD tapi kami bertiga selalu menyempatkan berkumpul setiap hari minggu, hal itu menjadikan persahabatan  kami bertahan. Tidak terasa kami bertiga sekarang sudah sama-sama lulus jenjang sekolah menengah. Aku yang mengambil jurusan teknik listrik lulus dan sekarang mulai mencari pekerjaan dibidang kelistrikan. Gus yang lulus dari sekolah menengah atas akan melanjutkan pendidikan kedokteran, dan Ratna siap melanjutkan pendidikannya dengan mengambil akademi kebidanan.  Entahlah aku hanya heran pada Gus, tak pernah terpikir dalam lintasku dia kan mengambil jurusan kedokteran. Padahal,keadaan keluarganya saat ini sedang kalang kabut karena kebangkrutan usaha.

“ Mas Gus, kau yakin mau ambil jurusan kedokteran ?” tanyaku
“iya, aku yakin Lee”. Tegasnya.
“ Meskipun keluargaku sedang bangkrut, tapi ini kan sudah sejak lama aku persiapkan, sejak aku SMP semua anganku soal jas putih, tetoskop, dan tentang menolong orang sakit sudah aku impikan” tambahnya dengan nada parau.
“Iya aku faham, tapi kemarin kamu sudah merelakan cita-cita itu terlepas Mas, kau bilang padaku. Saat kita bercerita soal aku yang akan bekerja dulu lantas kuliah. Katanya Mas akan kerja dulu bantu Pakde. Mengapa sekarang tiba-tiba begitu keras ingin tetap mendaftar dan ikut seleksi ?” aku kembali bertanya.
“ Kamu gak akan mengerti Lee, opo sih kamu itu, ini kan masa depan ku.” Dengan nada sinis Gus berlalu pergi.
Aku yang duduk di teras depan rumah membiarkan Gus berlalu saja, entahlah aku heran padanya, cepat sekali keputusan itu berubah. Padahal baru dua minggu yang lalu semenjak surat kelulusan tamat sekolah menengah masing-masing kami berdua terima kami memutuskan untuk mencari kerja bersama. Tapi sekarang Gus mendadak memintaku mengantarnya ikut seleksi kuliah.
“ Ah, ada yang aneh dengan si Mas itu, ndak sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Apalagi soal masa depan. Dia ndak mungkin salah mengambil langkah” gumamku dalam hati.
Haripun berganti dengan cepat. Hari ini hari Senin. Aku sudah punya janji dengan Mas Gus untuk mengantarnya ke salah satu Universitas. Kami tidak sengaja bertemu dengan Ratna. Semenjak kelulusan kami bertiga memang belum berkumpul kembali. Maklum saja Ratna mulai ikut seleksi masuk akademi kebidanan dan kami berduapun tidak mungkin mengajaknya untuk bermain bersama.
“ hey Lee, Mas. Mau kemana ?” Ratna dari kaca mobilnya berteriak padaku dan mas Gus.
Dengan cepat mas Gus menjawab, padahal mulutku baru saja akan berucap.
“ Kami mau cari kerja Rat”

Pikirku mengapa mas Gus berbohong. Semakin penasaran saja aku dengan tingkah laku Mas yang aneh dan tidak wajar. Dalam perjalanan dengan motor bututku, aku hanya ingin segera selesai mengantarkan tes seleksi Mas, dan segera mengintrogasinya selepas selesai. Aku urungkan niatku meminta penjelasaanya dalam perjalanan sebab aku mengerti dia sedang mempersiapkan ujian tesnya.

Sorepun datang, dengan mega-mega  merah kekuning-kuningan di atas langit biru. Dalam perjalanan pulang, sudah tidak tahan rasanya ingin aku terbang dan meminta penjelasan kelakuan si Mas yang aneh semenjak hari keputusan dia untuk kuliah. Kamipun sampai di pendopo rumahku. Karena hari sudah magrib, lekaslah aku masuk rumah dan tidak lupa aku mengajak mas untuk mengobrol selepas isya nanti.
“Mas, aku ingin diskusi sesuatu.  Nanti selepas isya akan ku ceritakan” Pancingku.
“nje, siap pokoke”. Jawab mas.

Malam ini selepas shalat di masjid. Aku bagai pak polisi yang sudah siap mengicar target penangkapan sudah bergegas dengan cepat dan siap mengintrogasi. Aku sudah kumpulkan beberapa kejanggalanku dan ingin segera aku luapkan mercon keherananku pada tingkah laku masku. Akhirnya malam ini semua terungkap. Semua hal yang tak pernah aku tahu soal Mas.
Aku baru mengerti dan sangat kaget. Ternyata Masku mempunyai perasaan pada Ratna sampai memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran demi masa depan untuk Ratna, memantaskan diri dengan derajat Ratna yang kelas menengah atas itu. Tapi bagiku itu terlalu berlebihan, dalam keadaan yang serba kekurangan dan posisi sedang terjatuh perekonomian, bagaimana Mas bisa bertahan menahan mahalnya biaya kuliah. Aku yang kemudian berdebat dan mengeluarkan pendapat soal itu terus menyangkal argument-argumen Mas soal masa depan dan perjuangan cinta.

“Mas, apa emang harus kamu tuh jadi dokter biar nikah sama Ratna? Yaa nda begitu mas!, memang Ratna sudah tau perasaan Mas ? memang Ratna meminta syarat agar kau jadi dokter biar jadi suaminya?, bukan aku ndak mau mendukung mas soal masa depan dan cita-cita, ya tapi lihat keadaan juga, rasionalah sedikit memang ukuran profesi jadi standar kau harus meminang Ratna. Masih jauh mas kau jangan terlalu ambisius seperti itu harus jadi dokter. Aku ndak suka Mas tiba-tiba mengambil keputusan sepihak harus kuliah kedokteran tahun ini, kan bisa tahun depan menunggu pakde usahanya bangkit lagi.” aku melontarkan kritikan pertanyaan dengan kesal pada mas Gus.

Belum sempat Mas menceritakan keseluruhan isi perasaannya, aku sudah menyelang terus dengan pertanyaan-pertanyaan mendesak seperti itu. Malam ini aku mengerti soal perasaan cinta.  Persoalan dua hati yang mulai saling berkomitmen lantas memantaskan diri masing-masing mengejar masa depan. Tapi bagiku Ratna terlalu jauh untuk Mas, bagai  mawar indah yang di keliling duri yang siap menusuk siapapun jika tidak hati-hati memetiknya. Mas menceritakan padaku pertemuan khusus dengan Ratna ketika berada di alun-alun kota Yogyakarta. Akupun tidak mengetahui pertemuan itu sepertinya liburan semester lalu sebelum ujian Nasional. Pada saat pertemuan itu Ratna memang menaruh juga perasaan pada Mas tapi Ratna menjelaskan bahwa mereka masih remaja dan hanya perlu memperbaiki diri dan memantaskan diri. Mas ternyata mempunyai komitmen dengan Ratna untuk sama-sama mengejar cita-cita. Perasaan mereka masing-masing tetap pada koridor pertemanan hanya untuk ke arah serius masa depan sama-sama saling menyemangati.

Bagiku itu hal wajar untuk persolan persahabatan, kita sama-sama saling mendukung dan memberi semangat. Tapi jika sudah kedalam ranah ingin memiliki dan soal cinta perlu diwaspadai. Sekarang selepas semua cerita itu, aku sendiri menyimpulkan bahwa mas berusaha mendapatkan Ratna untuk kelak ia cintai, makanya dia tiba-tiba perubah pikiran dan tetap tekad untuk kuliah kedokteran. Mas Gus mulai mengenal cinta. Aku tidak melarang soal percintaan, setiap manusia memang pasti punya cinta dan kasih sayang, tinggal bagaimana mengartikan makna dari itu bukan tentang soal sesame lawan jenis melainkan cinta dan kasih sayang untuk keluarga lebih penting untuk saat ini. Itu aku kemukakan pada masku.

Malam ini seusai suasana curhat tentang perasaan Mas. Kami berdua melepas penat dengan berbaring menatap langit. Bukan tatapan kosong melainkan tatapan merangkai langkah dan masa depan untuk diraih.

Kota Yogyakarta semakin hari, bulan, tahun semakin maju, lebih banyak pedagang, angkringan di setiap sudut jalan. Tidak terasa aku sudah 3 tahun tak bercengkrama dengan kota ini. Malam ini aku akan bertemu dengan Mas, entahlah semenjak aku yang bekerja ke luar pulau Jawa sebagai pegawai PLN dan mengikuti beberapa diklat aku sudah tidak pernah pulang ke Yogyakarta lagi, mungkin hanya pada hari-hari besar seperti Idul Fitri aku pulang ke Yogyakarta. Aku bekerja di daerah Sumatera. Dalam hitamnya langit malam dan sinar bulan purnama, aku akan bertemu dengan Mas dan Ratna. Kawan kecilku yang selalu aku rindukan kehadiran mereka.

Seperti waktu yang selalu berjalan dan tak pernah berhenti. Mungkin setiap orang siapun dan kapanpun memang pasti akan berubah. Kami bertiga bertemu dalam suasana dan keadaan yang sudah sangat berbeda. Mas Gusku yang ternyata sudah menunggu lebih dulu di depan alun-alun, sudah dengan badan yang semakin tinggi, wajahnya semakin terurus, pakaiannya sudah semakin modern tidak sesederhana dulu ketika masih di desa, bahkan aku melihat sisi berbeda dari masku, semakin terlihat wibawa calon dokternya. Memang kehidupan Masku semakin berubah semenjak dua tahun lalu pakde mendapat warisan dan mulai bangkit membangun usaha sayur-mayur serta beberapa peternakan di beberapa daerah luar Yogyakarta. Masku semakin tidak putus asa dengan harapan dan cita-citanya menjadi dokter karena secara keuangan sudah tidak kesusahan. Aku datang dengan berpakaian sederhana, maklum masih pegawai biasa dan gajihkupun belum seberapa. Hanya saja aku sudah sedikit lebih berisi dan tidak kurus seperti dulu. Tapi, memang kehidupan selalu berubah dan tidak sama lagi. Ratna yang semenjak di desa jadi gadis anggun dengan rambut ikal dan badan yang mungil kini berubah jauh sekali, tak terlihat sedikitpun rambut ikal itu sekarang, sudah tidak ada pita merah jambu yang selalu ia pakai untuk mengikat rambut. Ratna begitu tertutup, nyaris hanya terlihat tangan dan mukanya saja. Subhanallah Ratna begitu cepat berhijrah menjadi muslimah dengan menutup aurat. Aku sampai terkagum dan tak menyangka.
“deuh, bu bidan sudah berhijab ya sekarang, ga pake ngiket rambut lagi.” Ledekku padanya.
“hehe iya.” Sautnya.

Malam itu hampir 3 jam kami lepaskan rindu. Melepaskan segala kebimbangan dalam mencairnya suasana keakraban dan percakapan.  Saling bertanya dan menanggapi segala keluh kesah menahan rindu sampai pada titik pertanyaan tentang siapa teman hidup sesungguhnya atau sosok jodoh. Bagaimanapun persoalan cinta dan kasih sayang antar lawan jenis sesungguhnya tidak akan terlupakan untuk dibahas. Aku sempat ingat dengan cerita ketika aku lulus dari sekolah menengah beberapa tahun lalu, tentang Mas yang menyukai Ratna. Tapi aku tahan untuk tidak membahasnya sekarang.  Dua minggu lagi Ratna akan wisuda dan resmi jadi bidan. Secara khusus aku dan mas diundang untuk datang. Aku belum menyanggupi iya atau tidak akan datang karena jadwal kerjaku sekarang sedikit kacau. Tapi Mas Gus tanpa piker panjang menyatakan ia akan datang. Aku piker memang seharusnya Mas kan menyukai Ratna masa ndak datang pas wisuda.

Malam semakin larut kami bertiga pulang. Aku dan Mas bergegas ke kosan Mas, besok sore aku sudah harus pergi ke luar kota kembali, tapi kami berdua terlebih dahulu mengantarkan Ratna pulang. Memang selain di desa sebenarnya sekarang Ratna sudah pindah rumah dan menetap di kota Yogyakarta. Rumah di desa didiami oleh nenek dan pamannya.

Aku melihat sosok Ratna yang jauh berbeda, bicaranya lebih lembut. Parasnya begitu anggun dibalut hijab. Pikirku sampai lupa bahwa sebenarnya aku nyaris terpesona pada Ratna. Tapi aku ingat soal perasaan dan cinta sekarang bukan prioritasku, dan Ratna itu hanya sekedar sahabat kecilku.


Tak terasa dengan berbagai kesibukan, aku dengan penuh senyum dengan siap datang pada acara wisuda sahabat kecilku, dalam balutan buket mawar dan coklat kecil-kecil tertulis nama  Ratna Ayuning Tias, Amd. Keb. Aku sangat bahagia melihat kesuksesan sahabat kecilku meraih mimpinya. Pagi menjelang siang aku bergegas menuju gedung wisuda, menunggu Ratna keluar gedung. Aku sampai melupakan Mas Gus, entahlah mas sudah datang apa belum aku tidak tahu. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya prosesi wisuda selesai. Ratna dan para wisudawan lain keluar gedung. Kebetulan aku dan mas Gus memang tidak bisa masuk ke dalam gedung karena prosesi itu terbatas hanya untuk keluarga. Aku ucapkan selamat pada sahabat kecilku atas prestasi pendidikannya. Mas Gus memang sepertinya datang terlambat, aku dan Ratna menunggu cukup lama sambil berfoto ria mengabadikan dengan kamera handphone.

Akhirnya mas Gus datang. Mas Gusku begitu tampan dan memang itu tak terpungkiri oleh siapapun. Seperti petir di siang bolong nafasku menghela panjang sambil menatap mas dari kejauhan, dalam keramaian dan dalam balutan pakaian yang senada Mas Gus bersama perempuan beriringan berjalan ke arahku dan Ratna. Tak terbayang perasaan Ratna sebenarnya dia menaruh perasaan cinta pada Mas mungkin perasaan itu seperti belati yang menusuk dirinya dengan cepat, atau mungkin seperti  tusukan jarum yang perlahan menjait luka-luka. Perih, perih dan perih.

Aku menyaksikan sendiri, ada mendung di langit Yogyakarta. Saat semua wanita berbahagia atas gelar akademiknya, di sampingku ada hujan yang tak akan berhenti menangisnya. Dalam balutan ketegaran perempuan hijab aku dengar ucapan “astagfirullah haladzim” sebagai tanda memohon ampun sebab ternyata cinta pada pengharapan yang salah menyakiti diri sendiri, sebab pada dasarnya cinta pada Tuhan pada hambanya tak akan pernah berubah tidak seperti cinta antar sesama manusia yang kapanpun siap berubah menjadi sebuah pengkhianatan.



Penulis:
Rifa Nurafia




Share this:

Post a Comment

Salam, Pemuda!
Saatnya yang Muda yang Bicara!


Terima kasih telah berkunjung, silakan berkomentar :)

*Segala hal yang berkaitan dengan tulisan dalam website ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis tersebut sesuai yang tertera di bagian awal atau akhir tulisan.

________

// MudaBicara is one of Youth Community or Non-Profit Organization in Indonesia. We strive to provide a place for young people to voice ideas and literary works //

 
Copyright © MudaBicara! - Youth Community | Designed by OddThemes