Ngapain Kuliah? Ngga Bakal Bikin Kita Kaya!

"Mana coba saya pengen lihat, anak-anak kuliahan itu udah punya apaan?"

Pertanyaan seperti ini sangat lazim sekali ditanyakan oleh masyarakat di perdesaan, terutama ketika anak-anak mereka berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Mungkin kita semua sudah tahu, apa saja ciri-ciri masyarakat di perdesaan. Namanya juga "desa", pasti identik dengan dusun, kuno, ketinggalan zaman, primitif, anak gunung; suka berkelahi keroyokan, bodoh, miskin, rumahnya jelek, jalanannya rusak, becek, dll. Tidak heran, masih banyak di antara masyarakat perdesaan yang tidak mendukung terhadap pendidikan formal, mereka lebih menyukai anak-anaknya bekerja ketimbang mengurusi sekolah.

Mengapa bisa demikian? Kita semua juga sudah pasti tahu apa jawabannya. Masyarakat di perdesaan umumnya berpenghasilan rendah, jangankan untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, untuk kebutuhan dasarnya pun (makanan yang bergizi, kesehatan, dll) pun masih belum terpenuhi. Oleh karena itu, mereka harus puas bekerja di sektor informal sejak remaja sampai menikah dan punya anak.

Ketika anaknya sudah dewasa, si remaja yang sudah menjadi orang orang tua itu pun sama kondisinya dengan orang tua mereka pada awalnya, mereka tak mampu memenuhi kebutuhan gizi dan biaya pendidikan anak-anaknya. Pada akhirnya, si anak tersebut pun mau-tidak-mau harus bekerja untuk membantu orang tuanya. Begitulah seterusnya.

Di sisi lain, ada sebagian keluarga di perdesaan yang memiliki aset yang cukup (namun biasanya hasil dari pembagian warisan keluarganya). Lalu mereka menyekolahkan anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Namun, seperti biasanya, tidak semua pelajar serius dalam pendidikannya. Anak orang berada cenderung lalai dan lebih menyukai hura-hura daripada belajar. Alhasil, setelah lulus menjadi sarjana, kemampuannya masih diragukan, sehingga dia tidak dapat diterima di pekerjaan-pekerjaan strategis, dan jadilah ia sebagai "pengangguran terdidik".

Inilah yang menyebabkan beberapa masyarakat di perdesaan mengambil kesimpulan sepihak dengan hanya melihat satu kasus, bahwa pendidikan tidaklah penting, lantaran seorang sarjana saja tidak bisa bekerja menghasilkan uang yang lebih banyak daripada mereka yang bahkan tidak tamat SD lalu menjadi tengkulak.

Jadi, faktor penghambat pendidikan di desa selain karena ketidakmampuan secara ekonomi, juga karena masyarakat cenderung pesimis terhadap pendidikan tinggi, yang tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Oleh sebab itu, ada beberapa masyarakat yang bisa dikatakan cukup mampu, tetapi tetap tidak mau menyekolahkan anak-anaknya.

Memang tidak bisa dipungkiri, kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia tidak mampu menyerap banyaknya jumlah para pencari kerja. Sehingga, hanya yang berkompetenlah yang bisa lolos. Tetapi jika dilihat lebih dalam, peluang bagi lulusan perguruan tinggi untuk sukses jauh lebih besar daripada mereka yang hanya lulusan rendahan. Sebab, dalam tahap seleksi administrasi awal pun mereka akan segera disingkirkan oleh para sarjana dengan sederet gelarnya.

Secara sederhana, bisa kita pikirkan:
Berapa banyak sarjana yang sukses? Berapa banyak orang yang tidak kuliah yang sukses? Berapa banyak sarjana yang gagal? Berapa banyak orang yang tidak kuliah yang gagal?

Seandainya saja semua orang tua di perdesaan (yang cukup mampu) mau menunda membeli tanah, mobil, atau barang-barang lainnya hanya demi menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi, tentu mereka akan dapat menuai hasilnya.

Selain berpeluang diterima di pekerjaan strategis dengan gaji yang tinggi, mereka juga akan mengalami perubahan cara pandang terhadap segala permasalahan, dari yang awalnya menyelesaikan masalah dengan otot, suka main pukul, kemudian berubah menjadi penyelesaian dengan etika hukum yang tertib. Dari yang awalnya suka merusak fasilitas umum (karena berpikir itu punya pemerintah, bukan punya kita) berubah menjadi menjaga dan merawatnya dengan baik (karena sudah mengerti, bahwa semua milik pemerintah adalah milik rakyat dan untuk rakyat). Dari yang awalnya berpikir pendidikan tidak penting, akhirnya mereka dengan sendirinya memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya, dst.

Seandainya anak-anak yang bersekolah juga bersungguh-sungguh dalam proses belajarnya. Dan seandainya kedua hal itu terjadi, secara massive, tentu akan membawa perubahan pada kualitas hidup masyarakat di Indonesia. Tidak akan ada lagi yang buta huruf, berarti tidak akan ada lagi pembodohan. Semua masyarakat bisa mengakses informasi dengan baik, semakin banyak ilmuwan, yang memiliki kemampuan untuk mengolah sumber daya alam sendiri (tidak dibodohi oleh asing), yang selanjutnya akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lainnya.

"Education promotes equality and lifts people out of poverty. It teaches children how to become good citizens. Education is not just for a privileged few, it is for everyone. It is a fundamental human right" [Ban Ki-moon]

Jika semua orang di Indonesia menjadi produktif, maka akan terciptanya negara yang maju dan dengan masyarakat sejahtera. Tapi itu semua akan terjadi, jika kita mau berubah. Kecuali, jika kita tetap mau jadi orang kampung, dengan pola pikir yang 'kampungan'. Mari sekolah untuk menjadi pintar, pintar untuk menjadi pemimpin, pemimpin untuk menjadikan negeri ini negeri yang sejahtera.



Penulis:
Muh. Abdul Farid


__________________
Image credit : brighterlifeindonesia

Share this:

Post a Comment

Salam, Pemuda!
Saatnya yang Muda yang Bicara!


Terima kasih telah berkunjung, silakan berkomentar :)

*Segala hal yang berkaitan dengan tulisan dalam website ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis tersebut sesuai yang tertera di bagian awal atau akhir tulisan.

________

// MudaBicara is one of Youth Community or Non-Profit Organization in Indonesia. We strive to provide a place for young people to voice ideas and literary works //

 
Copyright © MudaBicara! - Youth Community | Designed by OddThemes