Me Before You: Hak untuk Mati Sama dengan Hak untuk Hidup?

Sebagai manusia kita diketahui memiliki hak untuk hidup. Tapi bagaimana hak untuk mati? Tentu terdengar sangat mengerikan apabila seseorang memintamu untuk membantunya dalam melaksanakan keinginannya untuk mati. Will Traynor pengusaha muda berusia 35 tahun yang menderita quadriplegia. Cacat seumur hidup dari bagian dada hingga kaki. Akibat kecelakaan motor yang dialaminya, Will harus menderita menjalani hidup di atas kursi roda. Karena sakit yang teramat, ia menginginkan untuk lebih baik mati ketimbang menjalani kehidupan yang hanya membuatnya sengsara ini. Percobaan bunuh diri yang menyeramkan membuat orang tuanya merasa bingung bukan kepalang harus melakukan tindakan apa. Mereka akhirnya menyepakati untuk menahan keinginannya Will melaksanakan kematiannya selama enam bulan. Sambil terus berjuang mati-matian untuk merubah pikirannya. Termasuk memperkerjakan perawat perempuan untuk mengawasinya selama hampir seharian penuh.

Louisa Clark, gadis energik berpenampilan nyentrik yang tidak memiliki bakat apa-apa akhirnya mendapat sebuah pekerjaan setelah pekerjaan satu-satunya sebagai pelayan kafe harus berhenti karena sang pemilik kafe menutup kafenya dan pindah ke suatu tempat yang jauh. Kehadiran Louisa sebagai perawat baru Will membuat seisi rumah kembali memiliki warna baru. Kembali memiliki secercah harapan bahwa Louisa dapat merubah keinginan Will dan membatalkan niatnya mendatangi klinik dignitas di Swiss.

Menurut pendapat pribadi saya yang cukup terlambat mengetahui novel ini adalah novel ini benar-benar layak untuk dibaca. Kamu tidak akan benar-benar meninggalkan buku itu jika kalau bukan ingin pergi ke kamar mandi atau perutmu sudah benar-benar sangat lapar dan minta diisi. Buku ini benar-benar memiliki magnet tersendiri untuk terus dibaca lembar demi lembar. Rasanya seperti tidak ingin berhenti. 

Sejujurnya, saya sudah tahu sejak lama tentang keberadaan novel ini. Tapi tidak benar-benar ingin mencari tahu banyak tentangnya karena lagi-lagi disebabkan oleh kurangnya informasi tentang novel apa ini sebenarnya. Saya pikir hanya tentang kisah cinta dua anak manusia. Tentu dengan tebal 600 halaman lebih saya membayangkan akan tenggelam dalam kebosanan jika isinya hanya perihal cinta melulu. Lalu, untuk mempersingkat pencarian saya mengumpulkan informasi tentang buku ini, saya memutuskan untuk menonton filmnya terlebih dahulu. Dan setelah menonton filmnya, saya sukses dibuat penasaran setengah mati bagaimana isi novelnya. Tentu jika kamu penggemar buku dan film, mereka adalah dua media berbeda yang masing-masing bisa dinikmati dengan cara yang berbeda pula. Jadi, meskipun sudah tahu ending ceritanya bagaimana dan keseluruhan filmnya seperti apa, tak mengurangi sedikit pun niat saya untuk tetap membaca bukunya.



Perasaan saya setelah menyelesaikan buku ini adalah sungguh buku ini sangat emosional. Kita dibawa menyelami tiap-tiap karakter dari tokoh yang dibuat oleh si penulis. Gaya penulisannya yang tidak melulu 'aku' sebagai si pemeran utama, membuat kita menyelami beberapa tokoh-tokoh dengan point of view mereka. Lembar demi lembarnya membuat kita sama-sama berharap (seperti semua tokoh dalam novel) untuk Will bisa merubah pikirannya. Mungkin karena kita benar-benar dibawa masuk kedalam setiap karakter dan tokoh-tokohnya. Banyak pelajaran kehidupan yang bisa kita ambil yang dapat membuat kita bisa jadi lebih menghargai hidup. Membuka cakrawala berpikir kita tentang betapa membosankannya hidup di dalam zona aman. Buku ini tidak melulu menceritakan soal cinta, bahkan menurut saya cinta-cintaannya hanya sekitar 20 persen dalam buku ini, tapi tentang bagaimana kamu tetap menjalani hidup yang tidak kamu inginkan, dan berkutat dengan pikiran bahwa hak untuk mati sama dengan hak untuk hidup.

Sempat menuai sedikit kontroversi saat filmnya pertama kali dirilis, tidak mengurungkan niat saya untuk tetap membacanya. Buku dan film ini dikecam oleh mereka para penderita difabel yang mengatakan bahwa buku ini telah menyampaikan sesuatu yang buruk pada dunia yang seolah-olah mengatakan bahwa kehidupan orang-orang seperti mereka layak dihentikan. Bahwa kehidupan seperti mereka sangat amat menyedihkan sehingga kematian pun tampak jadi lebih baik ketimbang kehidupan itu sendiri. Mereka yang masih memiliki semangat berapi-api untuk tetap hidup dan mengisi kehidupan dengan sesuatu yang positif, nampaknya cukup tersinggung dengan keberadaan buku ini. Tapi tentu saja, sebenarnya saya pribadi pun tidak ada kepikiran ke arah situ. Jika mereka bilang Moyes telah menyampaikan sesuatu yang seperti itu, sepertinya hal itu tidak ditangkap oleh saya. Saya berpikir jika buku ini sangat berguna bagi siapapun yang sehat atau sakit, penyandang cacat atau bukan, untuk bisa jadi lebih menghargai kehidupan yang telah dimiliki sekarang.

Terlepas dari semua kontroversi yang ada, buku ini dapat dinikmati oleh kita semua yang menginginkan bacaan baru yang mungkin lebih emosional. Saya tidak bisa menjamin kalau kamu bisa berhenti menangis dan terpukul di bagian akhir setelah beberapa jam. Tentu hingga sekarang pun masih menyisakan beberapa perasaan mual di perut mengetahui endingnya yang cukup menguras air mata. Kita bisa belajar memperbaiki diri lewat apapun dan darimana pun. Meski hanya dari kisah fiksi dalam buku.


Penulis:
Bahha Taqiya

______________
Image Credit: tumblr.com

Share this:

Post a Comment

Salam, Pemuda!
Saatnya yang Muda yang Bicara!


Terima kasih telah berkunjung, silakan berkomentar :)

*Segala hal yang berkaitan dengan tulisan dalam website ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis tersebut sesuai yang tertera di bagian awal atau akhir tulisan.

________

// MudaBicara is one of Youth Community or Non-Profit Organization in Indonesia. We strive to provide a place for young people to voice ideas and literary works //

 
Copyright © MudaBicara! - Youth Community | Designed by OddThemes