Dampak modernisme dan modernitas telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia. Tidak hanya mengubah cara kerja manual-sederhana manusia menjadi cara kerja yang serba teknologi mesin kalau dilihat dari segi modernitas, tetapi lebih dari itu berperan utama mengubah cara pandang manusia dalam segala hal dengan pola pikir yang berhaluan modernisme.
Salah-satunya adalah munculnya wacana “gender” yang lebih konkret yang dilihat dari persfektif pola pikir modern itu tadi. Mungkin perlu saya tuliskan bahwa pola pikir modern adalah pola pikir yang bersifat antromorphosentris di mana tatanan kehidupan berpusat pada manusia. Hubungannya dengan masalah “gender”, konsep feminisme modern telah menggugat pola pikir tradisional-agama tentang kedudukan perempuan yang dibangun di atas landasan patriarkhis. Sistem patriarkhis menurut para feminis modern telah menjadikan perempuan kehilangan eksistensinya sebagai manusia yang sama dengan laki-laki, budaya patriarkhislah yang telah menyebabkan adanya bentuk ketidak-adilan dan ketidaksetaraan gender.
Karena alasan itulah, para feminis menggertak agama-agama yang memupuk dan menumbuhsuburkan budaya patriarkhis. Semua agama, menurut mereka selalu laki-laki yang berperan penting dan yang paling eksis dalam mengisi ruang historisitas agama-agama. Kata “nabi” misalnya, selalu menunjuk kepada laki-laki yang dalam pengertian terminologisnya, Nabi adalah utusan Tuhan di muka bumi – sebuah gelar dan tugas yang sangat mulia yang jarang disandang oleh seorang perempuan.
Tapi apakah para penganut agama yang memakai sistem patriarkhis akan membenarkan bahwa mereka telah membedakan perempuan dengan laki-laki dalam hal peran dan fungsionalitasnya sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Di sinilah menurut saya perlunya membedah dan melakukan re-interpretasi (penafsiran kembali) terhadap makna keadilan dan kesetaraan gender.
Term “keadilan” dan “kesetaraan” selalu dipakai oleh para feminis secara bersama dalam satu tujuan, yaitu menghilangkan ketimpangan gender. Akan tetapi, sebenarnya term “adil” dan “setara” adalah dua kata yang berbeda yang tidak mempunyai koherensi makna. Sehingga akan menjadi rancu jika para feminis secara bersamaan memakai dua kata itu untuk menyerang dan menyatakan ketidaksetujuannya pada konsepsi keagamaan mengenai gender. Kenapa demikian? Karena konsepsi keagamaan tentang masalah gender (maupun terhadap masalah keagamaan lainnya)tetap memperhatikan keadilan, karena keadilan sudah menjadi prinsip universal dalam tradisi keagamaan, akan tapi di sisi lain cenderung mengecam kesetaraan.
Keadilan dalam pengertian yang sederhana adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional”. Sedangkan kesetaraan adalah membuatnya sama secara absolut tanpa melihat porsi subjeknya.
Laki-laki secara fisik-biologis (seks) berbeda dengan perempuan. Dan perbedaan seks-biologis itu secara alamiah ikut mempengaruhi sifat-sifat seksualitasnya, sehingga muncullah istilah maskulin untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan. Maskulin menggambarkan laki-laki yang mempunyai fisik yang kuat, otot yang besar yang menjadi factor pendukung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedangkan feminis mengambarkan perempuan yang mempunyai fisik yang lemah-lembut dan sifat penyayang, pengasih yang lebih menonjol daripada laki-laki. Perbedaan antara maskulinitas dan feminism ini saya kira bukanlah factor budaya melainkan sudah menjadi kodratnya karena perbedaan materi genetik pada perempuan dan laki-laki.
Maka konsekuensi dari perbedaan seks antara perempuan dan laki-laki di atas juga pada gilirannya akan berimplikasi pada peran kerja dan fungsionalitas yang saling berbeda pula. Kesimpulannya bahwa perbedaan seks secara fisik mempengaruhi perbedaan gendernya di mana laki-laki mengisi ruang hidup yang sangat luas dan perempuan, walaupun tidak sama dengan laki-laki tetap mempunyai ruang tersendiri dalam menjalankan kehidupan “keperempuanannya”. Memang ketika berusaha mencermati lebih mendalam perbedaan itu maka yang Nampak adalah ketidaksetaraan, tetapi di situlah letak keadilan gender. secara metaforis bisa diibaratkan dua botol yang tidak sama tinggi yang kemudian di isi dengan air sampai penuh, maka volumenya memang tidak sama tetapi tetap sama-sama penuh, itulah keadilan.
Lain halnya dengan kesetaraan, kalau kita melanjutkan perumpamaan di atas maka kesetaraan itu artinya adalah tetap ngotot menyamakan volume air dalam botol sampai sama besar walaupun ukuran botolnya tidak sama, hal yang mustahil untuk dilakukan bukan?
Begitulah pelaku budaya patriarkhis melihat phenomena gender. Dalam Islam contohnya, walaupun sering dituduh lebih meninggikan laki-laki daripada perempuan (mungkin dalam beberapa hal), tetapi nyatanya perempuan tetap dimuliakan, dan bahkan lebih mulia, yaitu ketika ia sukses membangun peradaban di wilayah domestic yang menjadi awal dan tempat pertama peradaban dunia menancapkan akar keadabannya. Artinya seorang ibulah yang memproduksi generasi-generasi manusia yang akan tetap memutar roda dunia sampai masa akhirnya.
Penulis:
Riswandi Yusuf
(Lulusan Program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
__________
Image credit: secondlineblog.org
Post a Comment
Salam, Pemuda!
Saatnya yang Muda yang Bicara!
Terima kasih telah berkunjung, silakan berkomentar :)
*Segala hal yang berkaitan dengan tulisan dalam website ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis tersebut sesuai yang tertera di bagian awal atau akhir tulisan.
________
// MudaBicara is one of Youth Community or Non-Profit Organization in Indonesia. We strive to provide a place for young people to voice ideas and literary works //