Di dalam ruangan yang memiliki aroma khas bayi dimana-mana, aku mendapati diriku benar-benar telah ditarik ke dalam masa lalu. Aku memikirkan semua kenangan yang terjadi antara aku dan Alesa yang telah kita lalui dulu. Aku menarik nafasku dalam-dalam, mencoba mengenyahkan segala hal yang terjadi didalam pikiranku. Aku mendapati wajahnya yang sedang tersenyum, wajahnya yang seringkali tersipu malu oleh aku yang gemar menatapnya dalam-dalam. Aku menatapi langit-langit kamar, berusaha menemukan jawaban atas kegalauan yang sedang aku rasakan. Orang bilang cinta pertama itu memang sangat sulit dilupakan. Namun tak melupakan cinta pertama kurasa adalah sesuatu yang bisa aku anggap normal. Dalam hal ini aku anggap perasaanku pada Alesa sekarang merupakan perasaan yang normal. Melupakan ia sepenuhnya merupakan hal yang paling sulit aku lakukan. Aku tersenyum dan membatin di dalam hati, bahwasanya semesta terkadang tidak menunjukkan kebaikannya kepada dua orang yang saling mencintai. Entah karena alasan apa seseorang dipisahkan padahal hati mereka terpaku satu sama lain. Namun kurasa begitulah takdir menjawab semuanya. Begitulah Ilahi menunjukkan kekuasaannya. Bahwasanya hal-hal yang kita inginkan belum tentu menjadi apa yang kita butuhkan untuk diri kita sendiri. Aku berusaha menyelami dan berenang di dalam takdir yang semesta telah pilihkan untuk hidupku. Kurasa hal yang paling mudah untuk aku lakukan sekarang adalah berdamai dengan masa lalu.
Suara tangisan kecil dari arah tempat tidur berhasil memecah lamunanku. Aku bergegas menghampirinya. Jovian nampaknya mendapati sedikit gangguan dalam tidurnya. Namun tak lama, ia pun kembali pulas. Aku menatapi wajah itu. Wajah si bayi yang membuatku bertahan dalam kehidupan hingga sekarang ini. Memilikinya merupakan anugerah terbesar di dalam hidupku setelah Alesa. Setelah perasaan cinta yang tidak bisa aku salurkan lagi padanya, kini aku memiliki tempat untuk menyalurkan lagi perasaan itu. Kepada bayi mungil yang berada di hadapanku sekarang. Oh, jika kau tidak ada di dunia ini, akan jadi apa hidupku ini, nak?Aku membatin dalam hati. Alesa adalah sumber kekuatan yang aku miliki dahulu. Namun ketika aku kehilangan sumber kekuatan itu, Tuhan memberikan pengganti yang sama baiknya dengan apa yang Tuhan berikan padaku saat itu. Namun rasanya kebahagiaanku terasa tidak lengkap. Aku membayangkan Alesa tertidur lelap disamping anakku yang juga sedang terlelap. Ya Tuhan, jika imajinasiku ini menjadi kenyataan, Engkau telahberhasil membuatku menjadi manusia yang paling bahagia sedunia. Aku pejamkan mataku kembali, berusaha untuk mengenyahkan apa yang baru saja aku pikirkan. Aku kembali berusaha berhadapan dengan realita yang aku miliki sekarang.
Valerie masuk ke dalam ruangan. Dengan tubuh seksinya yang indah dan dibalut dengan lingerie berwarna hitam, ia menghampiriku dengan senyuman manis yang selalu menghiasi pipinya yang merona. Ia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mulai menghujaniku dengan ciuman-ciuman kecil di mulai dari pipi lalu bergerak ke leher dan terakhir ia mendaratkannya di bibirku. Itu berlangsung cepat. Aku menikmati cara ia memperlakukanku bak seseorang yang benar-benar layak untuk dicintai dan diberikan perhatian dengan sentuhan-sentuhan lembutnya yang sedemikian rupa. Aku tersenyum menatapi wajahnya yang sedang tersenyum juga ke arahku.
"Air panasnya udah aku siapin kalau kamu mau mandi. Habis itu makan ya. Aku udah siapin makanannya di meja. Kalau kamu mau kopi, nanti aja ya habis makan." Ucapnya sambil berlalu ke arah tempat tidur Jovian untuk mengeceknya sebentar. Lalu ia mengisyaratkan untuk aku segera melakukan apa yang baru saja ia katakan.
***
Udara pagi hari ini terasa begitu menyejukkan. Hari ini aku berniat untuk mengunjungi rumah kedua orangtuaku bersama Valerie dan Jovian. Mereka berdua sudah menungguku di mobil. Menghabiskan banyak waktu bersama kurasa adalah hal baik yang akan aku lakukan untuk mengenyahkan pikiranku yang penuh dengan Alesa belakangan ini. Lima bulan berlalu setelah pertemuanku dengan Alesa dirumahnya waktu itu, aku malah semakin tidak bisa mengenyahkan tentang dirinya dari dalam pikiranku. Aku pun bertanya-tanya apa ia masih melanjutkan hubungan dengan kekasihnya itu? Terlebih oleh karena aku yang diam-diam menemui Sky dan memberitahukan padanya tentang siapa aku dan hubungan apa yang aku miliki dengan Alesa. Kurasa aku telah membuat Alesa berada didalam kesulitan. Apa pacarnya itu jadi memutuskan hubungan dengan Alesa karena ia tahu bahwa Alesa masih berhubungan dengan aku yang seharusnya telah berada didalam kotak masa lalunya? Namun aku tidak lagi bisa mengetahui keadaannya sekarang. Alesa menutup semua kontak dariku. Aku pun tidak ingin mencari tahu lebih lanjut lagi. Jika itu telah menjadi keputusannya, maka aku yakin itu adalah hal yang paling baik untuk dirinya. Aku tidak akan mengacaukan hidupnya lagi.
"Aku liat dari tadi kamu ngelamun aja. Ada yang lagi ganggu pikiranmu ya?" Tanya Valerie.
"Ah, engga apa-apa. Sedikit masalah dikantor. Ngga berarti apa-apa kok." Ucapku dengan diakhiri senyum kecil padanya.
"Kamu tahu, Jovian sekarang udah tumbuh gigi lagi loh. Lucu deh." Valerie berusaha mencairkan suasana.
"Iya aku udah liat."
Perbincangan kami tidak jauh dari hal-hal mengenai perkembangan anak kami. Valerie berusaha untuk selalu menembus batas pertahananku. Tapi lagi-lagi aku telah membuat tembok pertahanan yang terlalu tinggi untuknya. Ketika ada masalah dikantor, aku tidak pernah mendiskusikannya dengan Valerie. Hubungan kami hanya sebatas orangtua yang sedang bersama-sama membesarkan anaknya. Tak lebih dari sekedar kerja sama untuk membuat Jovian tumbuh dengan baik dan sehat. Valerie memang sudah berubah menjadi istri yang baik. Perempuan yang dapat diandalkan. Namun ia masih belum bisa menembus batas pertahananku. Barangkali untuk sekarang ini yang aku inginkan darinya hanyalah saat ia mengurus kebutuhanku dan Jovian dengan baik, serta saat ia menggoyangkan tubuhnya diatasku saat kami sedang berada di tempat tidur. Tak ada nyawa di dalamnya melainkan hanya suatu keharusan yang memaksa untuk aku melakukan semua hal itu bersamanya. Barangkali Valerie pun lelah dengan sikapku yang begitu defensif terhadap dirinya. Namun tak dapat aku pungkiri bahwa sama sekali tak ada namanya di dalam hatiku ini. Aku merasa kasihan padanya. Jika saja ia tidak egois pada perasaannya waktu itu, kurasa sekarang ia berada bersama seseorang yang begitu mencintainya. Yang mencurahkan seluruh perhatian untuknya, yang memberikan kecupan hangat selamat tidur sebelum ia memejam, yang membuatnya tertawa bahagia, yang mendengarkan semua keluh kesahnya, serta segala hal yang tidak bisa ia dapatkan jika ia lebih memilih bersamaku. Aku mulai membenci takdir ketika pikiran ini terlintas di kepalaku.
***
"Mama mau bicara sesuatu sama kamu." Ucap Mamaku ketika aku baru saja merebahkan tubuhku diatas sofa. Belum lama aku sampai dirumahnya, ia sudah menginginkan perhatianku untuk membahas sesuatu yang kukira cukup penting.
"Ada apa, Ma?"
"Ini tentang istri kamu, sayang."
Aku mencoba menaruh minat pada pembahasan yang akan dibahas oleh Mama. Tentunya topik tentang Valerie bukan topik pembicaraan yang aku suka. Tetapi sepertinya yang ini penting. Maka aku berusaha menaruh minatku pada pembahasannya kali ini.
"Temen Mama ketemu istri kamu pas dia lagi di hotel untuk acara gathering sama temen-temen kantornya. Dia ketemu Valerie sama cowok di hotel itu." Mamaku setengah berbisik untuk mengatakan hal itu padaku.
Tentu sebagai laki-laki yang juga telah menjadi suami sahnya Valerie, aku merasa naik pitam mendengar kabar tentangnya yang seperti itu. Suami mana yang tidak terbakar oleh emosi jika mendengar hal yang demikian diucapkan oleh ibunya sendiri. Barangkali teman Mama salah, namun bisa juga benar. Karena kebenarannya pun belum pasti, aku dituntut untuk bijak menyikapi masalah ini. Aku berusaha untuk tidak terpengaruh sedikit pun oleh apa yang dikatakan Mama.
"Ah, temen Mama salah liat kali." Aku berusaha santai menanggapinya.
"Bener sayang, temen Mama kan kenal betul wajah Valerie itu gimana. Valerie juga waktu ketemu temen Mama itu, kata temen Mama mukanya langsung berubah panik dan buru-buru pergi. Karena mungkin takut temen Mama ngenalin dia. Tapi kenyataannya ya temen Mama memang ngenalin muka dia lah. Kan dia suka Mama ajak ketemu temen-temen Mama pas arisan. Jadi temen-temen Mama pun banyak yang tahu kalo Valerie itu menantu Mama dan istrinya kamu."
"Selama belum ada buktinya aku ngga percaya, Ma sama omongan Mama. Bukan aku ngga menghargai apa yang Mama kasih tau ke aku, tapi ini toh yang Mama mau dari hubungan rumah tangga aku dan Valerie? Baik-baik aja dan adem terus kaya sekarang. Ini kan yang Mama mau? Punya menantu seperti Valerie yang cantik. Yang anak dari temen baik Mama dan Papa. Tanpa peduli perasaan aku gimana, ini kan yang Mama mau? Sekarang biarin aku jalanin hidup aku sama dia tanpa perlu campur tangan Mama atau Papa. Aku tahu apa yang harus aku perbuat untuk mendidik istri aku apabila ada sesuatu darinya yang melenceng."
Mama terlihat sedih mendengar semua kalimatku. Seolah-olah ia baru saja mendengar kabar duka dari seorang sanak saudara. Wajahnya memerah dan air mata berlinang diantara kedua pelupuk matanya. Melihatnya seperti itu aku berusaha mengontrol emosiku dan melembutkan sikapku padanya.
"Udah Mama jangan sedih. Aku ngga bermaksud untuk kasar sama Mama. Aku minta maaf ya. Aku cuma mau kasih pengertian ke Mama kalau aku sudah besar dan bisa urus keluarga aku sendiri dengan baik."
"Iya nak, Mama ngerti. Mama cuma berusaha jadi Ibu yang baik untuk kamu. Mama ngga mau kamu berada di pelukan wanita yang salah."
Mama melenggang pergi dari hadapanku sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku mendengar isak tangisnya yang berlebihan. Mendengar kalimatnya yang terakhir rasa-rasanya aku ingin kembali mengingatkan padanya bahwa siapa yang dari awal menjodohkan aku dengan wanita sinting seperti Valerie? Siapa yang telah dengan egois tidak lagi memperhatikan perasaanku yang saat itu hanya untuk Alesa? Mereka menginginkan Valerie untuk menjadi menantunya hanya karena Valerie cantik dan anak dari teman dekat mereka selama ini. Hanya untuk kepentingan mereka saja bukan? Kepentingan orangtuaku! Sedangkan ada hati yang dengan setia menungguku selalu. Menunggu jawaban atas kepergianku yang mungkin telah membawa sebagian dari dirinya pergi juga. Hati itu yang masih ada di dalam hatiku sampai sekarang. Mendengar apa yang dikatakan Mama tentang Valerie benar-benar membuatku kacau bukan kepalang. Aku menjadi benar-benar menyesal telah terlibat dalam permainannya selama ini. Terlepas dari benar atau tidaknya berita tersebut, rasa percayaku terhadapnya mulai terkikis dan entah mengapa aku memiliki keyakinan bahwa tak lama lagi rasa percayaku padanya benar-benar akan hilang.
***
Aku mendapatkan kabar jika teman-teman dari SMA-ku ingin mengadakan reuni kecil-kecilan. Hanya untuk angkatanku saja. Meskipun ketika kelas sebelas aku pindah sekolah, mereka masih tetap mengingat aku sebagai teman mereka dan tetap menjadikan aku sebagai bagian dari kenangan tentang masa-masa sekolah dulu. Mereka pun mengundangku untuk datang ke acara reuni tersebut. Reuni itu diadakan di salah satu rumah temanku. Temanku ini memang dikenal sebagai anak orang kaya. Ketika sekolah pun ia selalu diantar oleh supirnya dengan mobil yang setiap hari gonta-ganti. Jadi mungkin karena alasan itulah teman-temanku mengusulkan untuk mengadakan reuni dirumahnya. Terlebih karena rumahnya pun cukup besar dengan halaman yang luas serta kolam renang yang bisa kita jadikan tempat untuk melaksanakan pesta kecil-kecilan. Aku pun sangat bersemangat untuk bisa menghadiri reuni tersebut. Bukan karena agar aku bisa melepas rindu dengan teman-temanku, namun tentunya karena aku ingin bertemu dengan Alesa lagi. Aku tidak sabar untuk bisa kembali bertemu dengannya.
***
"Aku ikut." Valerie mulai merajuk saat aku mengatakan ingin menghadiri acara reuni dengan teman-teman SMA-ku.
"Aku ngga bisa ajak kamu. Reuni kali ini bukan reuni yang bisa ajak pasangan."
"Tapi aku tetep mau ikut. Aku mau kenal temen-temen SMA kamu."
"Ngga perlu." Jawabku singkat.
"Aku ngga boleh ikut biar kamu bisa bebas ketemu dan berduaan sama Alesa kan?" Ia berusaha menyelami raut wajahku yang tiba-tiba berubah saat ia kembali menyebutkan nama Alesa di dalam percakapan kita.
"Ini sama sekali ngga ada hubungannya sama Alesa. Aku kira urusan aku sama dia udah selesai saat kita sama-sama berkunjung kerumahnya waktu itu. Aku pikir kamu juga udah anggep semuanya selesai kan? Apa lagi yang harus aku lakuin sekarang?" Aku mulai merubah nada bicaraku menjadi lebih tinggi. Valerie merubah raut wajahnya. Nampak ia sangat terganggu dengan ucapanku yang barusan. Ia pergi menuju kamar dan meninggalkan aku sendiri dengan TV yang masih menyala sedari tadi.
***
Kerumunan orang-orang yang tengah asyik berbincang adalah pemandangan yang bisa aku lihat sejauh mata memandang. Tidak banyak yang bisa aku kenali, sepertinya reuni ini sudah berubah menjadi bukan hanya reuni angkatanku namun juga angkatan yang lain. Tidak masalah menurutku, karena tujuanku menghadiri reuni ini pun hanya untuk bertemu dengan Alesa. Orang-orang menghampiriku dan mengajakku bercakap-cakap untuk sekedar bertegur sapa. Aku mencari-cari orang yang dapat aku kenali. Dan saat kedua mataku melakukan pencarian itu, akhirnya mataku pun berhenti dan tertuju pada seorang perempuan yang sedang berdiri memegang gelas minuman sambil tertawa dengan orang-orang di sekelilingnya. Aku pun bergegas menghampiri orang itu.
"Hey, Sarah apa kabar?" Aku menepuk pundaknya dan membuat sedikit sentakan sehingga ia cukup terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
"Eh ya ampun, Dani? Ini Dani serius? Gila beda banget lo sekarang. Kenapa jadi kalem gini ya mukanya? Rada beda gitu. Dulu mah ada bengal-bengalnya. Hahaha." Ia tertawa lepas.
"Beda lah, sekarang mah kan udah jadi Papa muda. Udah punya jagoan yang ganteng kaya Bapaknya."
"Ah seriusan? Lo udah nikah? Waduuh parah nih ngga ngundang-ngundang ya. Terus dibawa ngga sekarang?"
"Siapa? Bokin? Ah dirumah aja dia mah jaga kandang."
"Oh tinggalnya di kandang sekarang? Hahaha."
"Iya ngga apa-apa tinggal dikandang juga, yang penting punya selimut."
"Selimut? Selimut apa maksudnya?" Ia mengernyit menandakan bahwa ia benar-benar tidak memahami apa maksudku.
"Selimut iduuup. Hahahahaha." Aku mengakhirinya dengan tawa yang cukup keras.
Ia adalah Sarah. Salah satu sahabatnya Alesa ketika masih duduk di bangku SMA. Aku tidak tahu apakah hubungannya dengan Alesa masih baik sampai saat ini. Namun dia adalah satu-satunya orang yang mengenal aku dan Alesa dengan cukup baik. Saat masih sekolah dulu, ia kerap kali menjadi penengah saat aku dan Alesa mengalami masalah-masalah kecil di dalam hubungan kami. Aku hanya ingin menanyakan kabar tentang Alesa padanya. Sekalian bernostalgia mengingat apa-apa saja yang dulu sudah pernah kita lakukan bersama.
***
"Masih sampe sekarang?" Tanya Sarah berusaha menangkap emosiku dari pertanyaannya itu. Kami duduk di bangku taman yang ada di depan rumah. Pesta berlangsung di belakang. Aku memilih tempat yang cukup hening untuk bisa sekedar bercakap-cakap dengan Sarah. Aku hanya ingin mengungkapkan segala hal yang selama ini ada dihatiku. Juga hal-hal yang seringkali mengganggu pikiranku sekarang. Pikiranku tentang Alesa benar-benar tidak pernah enyah dari kepalaku sekarang. Entah mengapa bayang-bayangnya kerap kali menggangguku belakangan ini.
"Masih apa nih?" Aku berusaha menegaskan kembali pertanyaannya. Barangkali aku salah menanggapi maksudnya apa.
"Masih cinta sama Alesa?" Lagi-lagi tatapannya merubuhkan pertahananku untuk bisa menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Sarah benar-benar mengenalku dengan baik. Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan pertanyaannya. Namun selanjutnya adalah hal yang tidak bisa aku sangka, Sarah menangis. Ia mulai menangis. Wajahnya tak dapat aku lihat karena ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Aku menjadi bingung dihadapkan dengan situasi seperti itu.
"Eh, kok lo malah nangis? Lo kenapa Sarah? Kok jadi lo yang nangis?" Aku mulai kebingungan. Ia membuka kedua tangannya dan menatapku dalam-dalam. Aku mulai salah tingkah dan tidak bisa menyimpulkan apa arti tangisan dan tatapannya itu. Air mata masih menetes di pipinya. Tatapannya padaku membuatku benar-benar menjadi kikuk dan kebingungan.
"Kalo lo cinta sama Alesa kenapa lo pergi? Kenapa lo malah tinggalin dia gitu aja? Setiap hari gue selalu berusaha ngehibur dia saat lo pergi dari dia, Dan. Lo tahu seberapa sakit perasaan Alesa saat itu? Gue sebagai sahabatnya bener-bener ngga tega liatnya. Setiap hari Alesa selalu berusaha ngilangin dan ngelupain semua kenangan tentang lo. Dia bener-bener kehilangan lo saat itu. Tapi apa yang lo lakuin? Lo bener-bener ninggalin dia gitu aja tanpa penjelasan apa-apa."
"Gue udah jelasin tentang kepergian gue waktu itu sama Alesa. Kita ketemu sekitar lima bulan lalu untuk ngejelasin apa yang udah jadi pertanyaannya selama ini. Dia juga udah ketemu sama Istri dan anak gue. Tapi ngga tahu kenapa, setelah pertemuan gue waktu itu sama dia, bukannya ngebuat gue jadi lupa sama semuanya tapi ternyata malah sebaliknya. Bayang-bayang Alesa malah lebih sering menari-nari dipikiran gue lagi."
"Alesa sempet cerita sama gue tentang pertemuan lo waktu itu. Dan dia bilang sama gue dia bakal berusaha untuk bener-bener ngelupain lo. Tapi gue tahu kalo yang ada dihatinya sampe sekarang itu cuma lo dan bukan Sky pacarnya yang sekarang."
"Jadi dia masih sama pacarnya itu?"
"Dia cuma berusaha ngejalanin hidup sebagaimana mestinya. Ngga bersama-sama dengan orang yang kita cinta toh kita tetap harus hidup juga kan? Tetap harus dijalani."
"Iya gue ngerti, Sarah. Gue tahu dengan sikap gue yang seperti ini cuma bakal menyulitkan Alesa untuk melanjutkan hidupnya."
Sarah terdiam. Suasana pun hening sejenak. Ia mengusap air matanya dengan kedua tangan. Berusaha membuat suaranya menjadi normal kembali. Ia mengeluarkan handphone dari dalam tasnya dan menunjukkan sebuah gambar di layar ponselnya. Seketika Dani pun diam membisu. Badannya tegang. Mukanya berubah menjadi pucat. Tak ada kata yang keluar dari dalam mulutnya melainkan hanya air mata yang bisa mewakili semuanya.
"Ini kondisi Alesa saat ini. Dia mengalami kecelakaan hebat dan udah koma dua bulan."
***
Aku memacu laju mobilku dengan cepat. Perasaan yang aku miliki benar-benar berkecamuk sekarang. Apa ini jawaban dari semuanya? Mengapa belakangan ini Alesa selalu muncul dipikiranku? Apa sedalam ini batin kami sehingga saat ia terkulai lemah tak berdaya di rumah sakit, aku pun bisa merasakan juga hal yang sama? Bukan hanya keadaan Alesa yang membuat aku benar-benar kalut sekarang. Tetapi juga kenyataan bahwa yang menyebabkan Alesa terbaring dirumah sakit sekarang adalah karena ulah Sky. Sarah bilang, sebelum kejadian hubungan Sky dan Alesa memang sedang di ambang kehancuran. Berkali-kali Alesa bercerita tentang Sky yang membuatnya kesulitan untuk memiliki ruang gerak yang cukup. Maksudnya Sky kerap kali berusaha mengatur semua aspek kehidupan Alesa. Ia berubah menjadi laki-laki yang over protective. Kejadiannya sekitar dua bulan lalu, yang Sarah tahu dari orangtua Alesa, saat itu Alesa pamit ingin pergi berlibur dengan Sky ke Bandung. Awalnya orangtua Alesa tidak mengijinkan. Mungkin karena naluri orangtua. Namun Alesa bilang Sky benar-benar ingin ditemani berlibur saat itu. Sekalian bertemu dengan sanak saudaranya yang berada di Bandung. Namun naas, mereka mengalami kecelakaan yang cukup hebat saat diperjalanan. Sampai sekarang Sky masih buron. Entah mengapa setelah kejadian itu ia malah menghilang. Laki-laki pengecut. Jika memang itu murni kecelakaan yang memang tidak diinginkan, untuk apa takut menghadapi semuanya? Terlebih lagi jika ia benar-benar mencintai Alesa, tak seharusnya ia meninggalkan Alesa di kondisi terburuknya. Sarah bilang ia curiga pada Sky yang sengaja membuat kecelakaan itu terjadi. Namun aku mencoba menenangkan Sarah untuk tidak berpikir terlalu jauh tentang hal itu. Sampai saat ini pun belum terbukti jika kecelakaan itu terjadi karena sesuatu yang di sengaja. Aku hanya berpikir Sky hanyalah tipe laki-laki pengecut yang tidak berani menghadapi situasi yang sulit. Yang tidak berani bertanggung jawab atas kesalahannya. Sehingga ia lebih memilih untuk melarikan diri meskipun Alesa sedang terbaring lemah di rumah sakit.
Aku memutuskan untuk pulang kerumah. Acara reuni masih berlangsung. Kurasa acara itu tidak akan berhenti sampai tengah malam. Tetapi karena perasaanku yang cukup kalut, aku memutuskan untuk lebih baik pulang dan beristirahat. Padahal aku sudah izin pada Valerie akan pulang sangat larut hari ini. Tetapi jam masih menunjukkan pukul sembilan malam dan aku memutuskan untuk kembali kerumah. Sepanjang perjalanan wajah Alesa kembali merasuki pikiranku. Oh, Alesa sayang mengapa ini semua harus terjadi padamu? Aku membatin dalam hati. Air mata mulai kembali menetes. Tak sanggup aku melihat kondisinya yang seperti itu. Dua bulan bukanlah waktu yang sebentar. Namun aku berusaha untuk tetap berpikiran positif. Bahwa Alesa akan segera siuman dan bisa kembali menjalani hidupnya dengan baik.
***
Suasana rumahku sangat sepi. Aku menduga Valerie dan Jovian sudah tertidur. Namun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres disini. Di ruang tengah aku mendapati TV yang masih menyala serta beberapa botol beer dan makanan ringan yang berserakan di meja. Tidak biasanya rumah menjadi sangat berantakan seperti ini. Aku menuju kamarku. Saat aku mulai mendekat ke arah pintu, aku mendengar suara-suara yang tidak aku inginkan. Aku mendengar suara desahan Valerie dari dalam kamar. Aku diam mematung di depan pintu kamarku. Menimbang-nimbang apa yang seharusnya aku lakukan sekarang. Aku seperti tidak siap dihadapkan dengan pemandangan yang tidak aku inginkan. Namun aku mengumpulkan keberanianku. Aku benar-benar sedang diliputi oleh perasaan kalut. Aku mengepal tanganku dan membuatnya seperti siap meninju apapun yang ada dihadapanku. Emosi telah menyelimuti hati dan pikiranku saat itu.
Aku membuka pintu kamarku yang tidak dikunci. Tentu saja dugaanku benar, Valerie sedang bermain api dengan laki-laki yang aku pun tidak dapat mengenalnya. Mereka kaget ketika melihatku berdiri di ambang pintu. Aku mendapati mereka sedang berada diatas kasur berdua dengan tidak kutemukan sehelai benang pun di tubuhnya. Hatiku sakit. Amarahku memuncak. Aku menyambar tubuh laki-laki itu dan meninju wajahnya hingga ia jatuh tersungkur. Aku membuatnya bangun kembali agar aku dapat meninjunya lagi. Kali ini dibagian perut. Ia terjatuh lagi. Aku mendengar suara Valerie memekik ketakutan dan berusaha melerai kami berdua. Tentunya hal itu tidak aku hiraukan. Ia tidak melakukan perlawanan apapun terhadap semua seranganku. Saat ia sedang lemah dari pengawasanku, ia berlari sambil menyambar pakaiannya yang masih berserakan di lantai lalu berlari keluar kamar. Aku mengejarnya namun sayang ia sudah berlari keluar begitu cepat. Aku menumpahkan segala kekesalanku dengan membanting semua benda yang ada dihadapanku saat itu. Berkali-kali aku meninju dinding rumahku untuk sekedar meluapkan segala emosi yang aku miliki. Aku meninju kaca yang tergantung di dinding. Serpihannya berserakan. Lalu aku mendapati tanganku mulai berlumuran darah. Aku benar-benar kalut saat itu. Aku benar-benar hancur. Jika saja aku menghancurkan rumah ini pun, membakar seluruh benda yang ada di dalamnya, tidak akan dapat mengurangi rasa sakitku malam itu. Aku benar-benar telah merasa dibohongi. Aku benar-benar merasa hancur dari dalam. Jika saja saat itu aku berpikiran pendek, aku akan menyeret Valerie keluar dari rumah dan menabraknya dengan mobilku hingga ia terpental sangat jauh. Sungguh semua amarahku benar-benar sedang berada dipuncaknya sekarang.
Valerie keluar dari dalam kamar. Ia berlari dan menghambur ke dalam pelukanku lalu menangis. Aku tak sedikit pun sudi untuk memberikan belas kasihanku padanya. Aku lepaskan pelukannya dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur ke lantai.
"Satu langkah lo maju buat nyentuh gue lagi, gue pastiin besok nama lo tertulis rapi di batu nisan." Ucapku penuh dengan amarah sambil mengacungkan jari telunjukku ke arahnya.
"Maafin aku. Aku mohon aku minta maaf sama kamu. Aku bener-bener minta maaf." Valerie kehabisan kata-kata untuk bisa menghadapiku saat itu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanyalah maaf dan ia masih terus menangis.
"Cuma orang yang ngga waras yang bisa maafin kelakuan lo yang kaya gitu."
Valerie masih terus menangis, ia seperti kebingungan harus berbuat apa. Tiba-tiba suara tangisan Jovian memecah ketegangan diantara kami. Aku berlari menuju kamar sebelum Valerie berusaha mendahului langkahku. Aku berusaha dengan cepat agar aku sampai dikamar lebih dulu. Aku tidak rela jika Valerie menyentuh tubuh anakku. Segala hal tentangnya sekarang begitu memuakkan. Aku benar-benar tidak mempedulikan fakta bahwa Jovian masih membutuhkan ibunya. Mulai detik ini, aku bersiap akan memisahkan Jovian dari Valerie. Aku tidak akan sudi darah dagingku di didik dan dibesarkan oleh perempuan murahan seperti dia. Sungguh apabila ada kata umpatan yang lebih buruk dari itu bisa aku temukan, akan aku sematkan kata itu untuk memberitahu pada dunia bahwa ia memang hanyalah wanita murahan yang tidak memiliki harga diri.
"Aku minta kamu turunin Jovian sekarang!" Pinta Valerie sambil masih menangis. Suaranya terdengar sangat memilukan. Aku terbelalak saat ia meneriakkan kalimat itu padaku. Sungguh wanita ini benar-benar harus diberi pelajaran. Aku tidak mempedulikan kalimatnya dan masih sibuk menggoyang-goyangkan tubuhku agar Jovian bisa berhenti menangis. Tetapi sepertinya bocah mungil ini benar-benar merasakan ketegangan yang terjadi diantara kedua orangtuanya. Valerie diam mematung di dekat ambang pintu. Sepertinya ia tidak berani jika harus benar-benar mendekat ke arahku. Ancamanku padanya nampaknya berhasil. Aku masih sibuk berusaha membuat Jovian tenang. Aku tidak mempedulikan lagi Valerie sekarang. Urusanku dengannya benar-benar telah selesai. Tiba-tiba tak ada suara yang keluar dari arah Valerie. Ia hanya diam memandangiku dengan tatapannya yang kosong. Tak ada lagi emosi yang bisa aku tangkap dari raut wajahnya. Ia pun sudah berhenti menangis. Aku merasakan keanehan telah terjadi padanya. Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan menatapku lekat-lekat. Lalu ia menyeringai ke arahku dan matanya bergerak memperhatikan sekeliling ruangan lalu berhenti lagi untuk menatapku. Ia masih tersenyum. Senyumannya nampak sangat mengerikan sekarang. Ia seperti orang yang sakit jiwa.
"Kamu lagi gendong anak siapa sayang? Anak siapa? Anak kamu? Itu anak aku." Ucap Valerie tanpa ada emosi sedikit pun dari kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia masih menyeringai. Aku menjadi kebingungan oleh karena sikapnya yang berubah menjadi sangat aneh. Apa ia sedang bermain-main denganku saat ini? Sungguh ini bukan saat yang tepat untuk bisa mempermainkanku sekarang.
"Dasar perempuan sinting. Perempuan murahan! Ngga punya harga diri." Tak kuasa aku menahan semua umpatan yang sedari tadi ingin segera meluncur keluar dari mulutku. Valerie tertawa. Ia malah tertawa mendengar kalimatku yang barusan.
"Gue sinting? Iya. Karena udah terjebak sama cowok bego kaya lo."
Aku tidak menghiraukan ucapannya. Karena aku tidak memberikan reaksi apa-apa, ia pun kembali meneruskan kalimatnya.
"Lo pikir Jovian itu anak lo? Iya? Ganteng-ganteng kok bego sih bisa gitu aja percaya pas gue bilang gue hamil gara-gara lo?"
"Maksud lo apa?" Aku benar-benar kehabisan akal. Seperti merasa gagal dalam permainan lalu sadar bahwa sejak dari awal aku tidak menjadi bagian dari permainan itu. Rasanya seperti sangat kacau. Memoriku kembali pada saat aku terbangun di suatu pagi dan menemukan Valerie telah tanpa busana sedang membangunkanku dengan lembut. Rasa-rasanya semua nampak begitu nyata bagiku. Namun faktanya pun aku memang benar-benar tidak bisa mengingat sama sekali kejadiannya bagaimana, sehingga saat Valerie datang padaku sebulan kemudian dan memberitahukan padaku bahwa dirinya hamil, aku benar-benar langsung percaya.
"Jovian itu bukan anak kamu sayang. Dan faktanya kita emang ngga pernah berhubungan badan sebelum pernikahan. Jadi Jovian itu bukan anak kamu. Jovian itu anak aku sama Refan. Laki-laki yang baru aja kamu pukuli itu adalah ayah Jovian yang sebenarnya. Tadi dia dateng katanya kangen sama anaknya. Dan ternyata karena banyaknya beer yang kita minum, akhirnya jadi lanjut ke kamar. Sebelum kamu dateng dan merusak semuanya. Aku sama Refan sebenernya saling cinta. Cuma sayang Mama Papa ngga setuju sama hubungan kita. Dia bukan dari keluarga yang cukup mapan kaya kamu. Begitu Papa tahu kalau aku cinta banget sama dia, dia berusaha pisahin aku dengan mulai mencarikan aku jodoh laki-laki yang lain. Yang kemudian Papa ketemu sama Om Harno ayah kamu dan ngobrolin tentang kamu. Papa pun berinisiatif untuk menjodohkan kita."
"Pada awalnya aku ngga suka-suka banget sama kamu. Jangan ke ge'eran. Aku memang tertarik sama kamu karena kamu cukup menantang untuk ditakluki dan ganteng juga. Tetapi tetep yang aku cinta ya cuma Refan. Tapi ternyata aku nemuin fakta bahwa Refan selingkuh sama perempuan lain saat itu. Seminggu setelah aku tahu kalau Refan selingkuh, aku nemuin diri aku ternyata sudah hamil karena dia. Dan aku bener-bener hancur saat itu. Saat itu aku hanya butuh seseorang yang bisa menerima aku yang seutuhnya. Yang aku tidak perlu cinta padanya atau dia mencintaku, aku hanya ingin ditemani melewati masa-masa sulitku di kehamilan pertama yang mana sebenernya aku membayangkan Refan senantiasa membantu dan mensupportku kapan pun aku membutuhkannya. Namun ia malah pergi saat aku memberikan kabar kehamilanku padanya. Aku frustasi. Karena itulah aku berusaha melupakan Refan dan mulai dengan agresif ngedeketin kamu. Sampe pada akhirnya kamu aku buat ngga sadar dan aku buat seolah-olah kamu udah ngelakuin sesuatu hal sama aku. Dan saat aku bilang ke kamu kalo aku hamil, kamu percaya-percaya aja. Dasar cowok bego. Lima bulan setelah kelahiran Jovian, Refan kembali menghubungiku dan kita mengatur jadwal untuk pertemuan. Ia meminta maaf padaku dan bersumpah untuk selalu menjagaku sejak hari itu. Karena cinta yang teramat besar padanya, aku pun memaafkannya dan mulai memiliki hubungan kembali dengannya dibelakang kamu. Aku sama dia cuma tunggu saat yang tepat untuk aku bisa bener-bener lepas dari kamu dan bisa kembali sama dia. Dan aku rasa, sekarang adalah saat yang tepat."
Hancur, adalah satu kata yang bisa aku ungkapkan untuk bisa mewakili apa yang terjadi pada diriku saat itu. Kebohongannya selama ini telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk menghadapi situasiku yang seperti itu. Kelegaan nampak jelas terlihat di wajah Valerie. Menyimpan sesuatu yang begitu banyak untuk kurun waktu yang cukup lama bukan merupakan hal yang mudah. Jadi saat hal itu telah berhasil dikeluarkan dari dirinya, ia nampak begitu tenang sekarang. Aku bisa dengan sangat mudah untuk terus membencinya selalu. Namun ada dorongan dari dalam diriku yang memerintahkan agar aku bisa memaafkannya. Jika dilihat dari kronologisnya, yang terjadi pada Valerie ialah dia hanya menjadi korban cinta buta dan juga korban keegoisan orangtuanya. Jika saja orangtua Valerie merestui hubungan dia dan pacarnya, sudah pasti hal ini tidak akan terjadi. Valerie pasti sedang berada di dalam rumah tangga yang memiliki kehangatan karena terdapat cinta yang benar-benar tulus didalamnya. Kurasa aku dan Valerie benar-benar telah menjadi korban cinta buta yang membuat kami menyalahi janji suci yang sudah kami ucapkan saat pernikahan. Aku pun tidak dapat membenarkan diriku karena aku tidak berselingkuh seperti apa yang dilakukan Valerie dengan Refan. Valerie dan Refan memiliki kesempatan. Sedangkan aku tidak. Jika saja aku memiliki kesempatan yang sama seperti Valerie, aku pun dengan sangat yakin akan menjalin kembali hubunganku dengan Alesa. Sungguh sekarang aku menjadi sangat yakin bahwasanya menikahi seseorang yang benar-benar kita cinta merupakan hal penting diatas materi dan embel-embel pernikahan lainnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Kurasa itu adalah peribahasa yang tepat untuk diriku saat ini. Sangat percuma apabila aku berteriak-teriak menyalahi takdir yang sudah Tuhan pilihkan untukku. Sekarang aku menjadi lebih lega karena setidak-tidaknya aku memiliki kesempatan untuk bisa menata hidupku kembali untuk menjadi lebih baik. Melepaskan diriku dari ikatan yang tidak aku inginkan. Tentunya kalian harus tahu bahwa berpura-pura mencintai seseorang yang tidak kita cinta merupakan hal yang paling sulit untuk dijalani. Namun ada hal yang lebih sulit dari pada itu, yaitu kehilangan cinta yang kita miliki padahal ia terus menerus hadir di depan mata. Maka untuk sekarang, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatanku untuk bisa kembali mencintai Alesa.
Aku menaruh Jovian ke tempat tidur. Aku pandangi wajah mungilnya. Meskipun ia bukan darah dagingku, aku sudah menemani pertumbuhannya sedari ia masih ada di dalam perut. Aku telah menjalankan peran sebagai ayahnya selama hampir kurang lebih setahun. Untuk kurun waktu yang selama itulah yang membuatku masih mencintai bayi mungil ini sampai sekarang. Valerie menatapku dari kejauhan, ia sudah tidak merasa terancam lagi olehku. Ia bisa membaca bahwa emosiku benar-benar sudah turun. Valerie menghampiriku dan tak kusangka ia bersujud di kakiku sambil memeluk kedua kakiku dengan erat.
"Aku udah dosa banget sama kamu, Dani. Aku udah rebut kamu dari orang yang bener-bener sayang sama kamu. Aku pisahin cinta kalian hanya karena keegoisan aku saat itu. Aku bener-bener minta maaf sama kamu Dani. Aku udah dosa banget. Aku bohongin kamu, aku bohongin Mama Papa aku dan juga orangtua kamu. Aku siap kalau emang kamu bakal benci aku seumur hidup kamu. Tapi aku mohon, untuk menebus semua rasa bersalah aku sama kamu, izinkan aku bantu kamu untuk kembali sama Alesa."
***
Dua bulan berlalu. Aku sekarang kembali tinggal satu rumah dengan orangtuaku. Kembali kepada pelukan keluarga merupakan hal yang tepat untuk mengobati diriku yang sekarang. Sidang perceraian masih diurus oleh aku dan Valerie. Kita kompak agar bisa menyelesaikan segala sesuatunya secepat mungkin. Orangtua Valerie meminta untuk bertemu denganku dan membicarakan semuanya. Namun nampaknya aku tidak perlu menceritakan lagi seluruh kejadiannya. Valerie telah memberitahu kedua orangtuanya tentang hal itu. Karena itulah saat orangtua Valerie menemuiku, mereka nampak sangat tertekan karena malu yang teramat. Juga rasa bersalah mereka terhadapku dan terhadap anaknya sendiri. Kini mereka memberi kebebasan terhadap Valerie untuk menentukan dengan siapa dia harus menjalani kehidupannya. Kurasa orangtua Valerie mulai membuka diri terhadap Refan. Mau bagaimana pun ia adalah ayah biologis dari Jovian. Dan Jovian berhak mendapatkan seluruh perhatian dari kedua orangtuanya.
Satu bulan lalu, aku mendapat kabar bahwa Alesa sudah siuman dan sekarang sudah dibawa pulang kerumah. Rumitnya proses perceraian yang terjadi di dalam rumah tanggaku membuatku tak sempat menjenguknya kerumah sakit. Aku merasa bersalah akan hal itu. Tetapi setiap malam sebelum pejam, selalu aku kirimkan doaku agar ia dapat segera pulih kembali. Dan hari ini aku berniat untuk berkunjung kerumahnya dan memperbaiki hubunganku dengannya.
***
Rumah Alesa masih sama seperti terakhir kali aku mengingatnya. Halaman kecil yang menghiasi rumahnya nampak membuat suasana rumah tersebut menjadi sangat nyaman untuk ditinggali. Aku masuk ke dalam dan bertemu dengan ibunya Alesa. Ia masih mengenaliku tentunya.
"Dani, sayang, ya ampun tante ngga pernah liat kamu lagi. Sehat kan kamu, nak?" Tanya Tante Erin ibunya Alesa. Ia masih selalu sama seperti yang dulu. Kehangatannya benar-benar sama seperti ibuku sendiri.
"Kabar baik, Tante. Alhamdulillah. Maaf tante aku berkunjung tiba-tiba. Aku cuma mau jengukin Alesa. Aku dapet kabar kalo Alesa udah pulang dari rumah sakit. Makanya sekarang aku kesini."
"Oh iya betul. Koma dia tiga bulan gara-gara kecelakaan. Beruntung sekarang udah siuman dan masih bisa diselamatkan ya. Tante bener-bener terpukul saat Alesa tiga bulan berada di rumah sakit." Tante Erin mulai menitikkan air mata. Kurasa semua Ibu akan merasakan penderitaan yang sama apabila melihat anaknya terkulai lemah di rumah sakit dan berjuang diantara hidup dan mati.
"Tapi dia sudah mulai pulih sekarang. Kondisinya semakin membaik meskipun masih pake kursi roda. Tapi sekarang tinggal proses recovery aja." Ia melanjutkan.
"Kalau gitu, boleh saya ketemu sama Alesa?"
"Oh tentu. Dia pasti seneng bisa ketemu lagi sama kamu. Dia ada di kamarnya."
Aku berjalan mengekor di belakang Tante Erin. Jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan Alesa. Tuhan begitu baik padaku. Ia dengan segala kuasa-Nya telah memberi aku kesempatan untuk menebus segala pedih yang telah aku ciptakan di hati Alesa bertahun-tahun lamanya. Kini aku siap menjaganya selalu.
"Alesa, kamu ada tamu, sayang." Tante Erin membangunkan Alesa yang sedang tidur. Ketika ia membuka matanya dan menatap ke arahku, tiba-tiba air mata berlinang di antara kedua pelupuk matanya. Tante Erin mengisyaratkan aku untuk membantu Alesa duduk diatas kursi rodanya. Lalu ia pamit keluar dan meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
"Kamu kenapa nangis, Sa?" Tanyaku dengan lembut sambil mengusap air mata yang mulai bercucuran membasahi pipinya. Hatiku benar-benar sakit melihatnya seperti itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang menikam tepat ditengah-tengah jantung hatiku. Aku berlutut dihadapannya untuk membuat tubuh kami menjadi sejajar.
"Aku kangen kamu, Dani." Kata Alesa dengan suara yang parau. Aku tidak bisa mengartikan nada suaranya itu. Namun dari nada suaranya ia nampak sangat kesakitan akan sesuatu. Seperti seseorang yang sedang menyimpan beban yang berat untuk waktu yang begitu lama.
"Aku juga kangen sama kamu, Sa. Aku kangen banget." Tak kusangka air mata mulai keluar dari mataku. Ah, aku sama sekali tidak takut terlihat cengeng dihadapannya. Air mataku sungguh merupakan air mata bahagia karena semesta telah berhasil membawa seseorang yang aku cinta kembali ke dunia.
"Aku udah denger cerita tentang kamu dari Sarah. Waktu aku ketemu Sarah, kamu udah dalam keadaan koma."
Alesa diam. Berusaha mengingat-ingat kejadian yang telah dilewatinya.
"Aku udah ngga sama Sky sekarang. Dia udah pergi dan aku bener-bener ngga mau kenal dia lagi." Amarah nampak di dalam raut wajah Alesa. Aku tadinya berniat untuk bertanya lebih lanjut mengenai hal itu. Namun aku rasa waktunya sekarang belum tepat, maka aku urungkan niatku untuk bertanya lebih jauh.
"Sekarang aku yang ada disini, Sa. Aku yang bakal terus jagain kamu." Aku genggamkan tanganku ke tangannya dengan erat. Berusaha agar hal itu dapat mengurangi rasa sakit Alesa akibat semua yang telah terjadi.
"Jovian mana, Dan?"
"Ada dirumah dia sama ibu dan ayahnya."
Alesa nampak kebingungan dengan jawabanku. Aku pun akhirnya meneruskan kalimatku kembali.
"Semuanya bener-bener pelik banget. Dari awal Valerie bohongin aku tentang kehamilannya. Ternyata aku emang ngga pernah berbuat apa-apa sama dia. Dan Jovian pun bukan anak aku melainkan anak dia dan pacarnya."
"Aku ngga ngerti."
"Ceritanya panjang. Nanti kalau kondisi kamu sudah membaik aku bakal ceritain semuanya ke kamu. Sekarang yang perlu kamu tahu, aku bukan Dani suami orang. Juga bukan Dani yang sudah punya anak umur setahun. Aku Dani yang selalu sayang sama Alesa."
Alesa tersenyum. Matanya nampak berbinar. Wajahnya berubah menjadi begitu berseri-seri. Ia menggerakkan kursi rodanya ke arah meja yang disana terdapat buku-buku yang tersusun dengan rapi. Ia membuka laci meja tersebut dan mengeluarkan sesuatu. Alesa kembali mendekat kearahku dan memberikan aku selembar kertas.
"Baca." Katanya. Ia mengisyaratkan aku untuk segera membaca tulisan yang ada di kertas itu.
~ Untuk Daniku yang selalu aku sayang ~Raga kita boleh jadi memang tak menyatu. Tangan kita tak berhasil menggenggam satu sama lain. Hadirmu atau hadirku hanya sebatas mimpi yang cuma bisa menjadi angan. Tawa lepasmu kini tak dapat lagi aku perhatikan. Oh, apakah kamu masih sering tertawa seperti itu? Dani, aku ingin senyum yang menghiasi wajahmu selalu. Aku harap ia tak akan pernah menggoreskan luka pada hatimu yang senantiasa ku jaga. Dani, jika kehidupanku berhenti sebelum aku dapat bertemu denganmu lagi, aku harap Tuhan menjadikan aku malaikat agar dapat menemani harimu selalu tanpa rasa lelah. Dani, apakah namaku masih ada di hatimu? Jawab sekarang atau aku akan tetap disini. Karena meskipun jawaban tidak yang aku dapatkan, aku tetap akan selalu disini bersamamu. Dani, aku menyayangimu. Jika kita tak bisa dipersatukan dalam kebersamaan, aku terus berdoa pada Tuhan agar hati kami senantiasa menemukan jalan yang terbaik untuk pulang. Entah untuk pulang kerumah yang dulu, atau mencari rumah yang lain. Tapi kuharap, rumah-rumah itu dapat membuat hati kita nyaman. Diri kita tenang. Dani, maukah kamu selalu menjadikan aku sebagai rumahmu? Sebab aku selalu ingin menjadi tempat kamu kembali pulang setelah lelahnya kamu bercengkrama dengan drama kehidupan. Dani, jika takdir dapat aku mainkan, aku akan dengan senang hati menukar takdirku dengan takdir yang lain. Tentu saja takdir yang bisa membawaku untuk bisa bersamamu selalu. Dani, karena sejak dari dulu, bahkan ketika kehidupan menjatuhkanku dengan sangat kasar, aku berhasil bertahan untuk tetap selalu mencintaimu. Aku mencintaimu, Dani. Untuk hari ini, esok, dan hari-hari selanjutnya.
Setelah Dani selesai membaca surat itu, ia tersenyum ke arah Alesa. Tatapannya begitu dalam. Penuh makna dan penuh cinta. Alesa pun membalas tatapan Dani. Mereka berdua seperti dua orang yang sedang tenggelam dalam cinta. Dani berusaha mendekatkan tubuhnya ke tubuh Alesa. Lalu setelah itu ia menghambur ke dalam pelukannya. Alesa pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua menangis. Dalam tangisan itu seperti sedang berhamburan segala sakit yang mereka rasakan selama ini. Kini cinta mereka tidak lagi harus dipaksa hancur oleh keadaan.
"Aku sayang kamu, Alesa. Selalu."
Dani membenamkan wajahnya ke pelukan Alesa. Mereka nampak tenang dan sangat bahagia sekarang.
"Aku juga sayang kamu, Dani. Selalu."
Ditunggu part ketiganya :)
ReplyDeleteSiaaaap ;)
ReplyDelete